Anomali Kebangkitan Indonesia (Anan Suryana)

Kebangkitan semestinya di artikan sebagai upgrade yang berkesinambungan bagi seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat. Namun kembali lagi, masih saja arti bangkit hanya dijadikan sebagai semboyan yang hidup dalam sebutan saja. Mayoritas bangsa Indonesia sepertinya masih terkungkung dan terjajah oleh sistem. Tiba-tiba saja, dalam hal ini, sistem (yang salah) menjadi hal yang menakutkan, karena tanpa disadari, sistem (yang salah) itulah yang menggerus dan menjajah pola pikir generasi muda Indonesia kini.


Hal paling nyata, yang membuktikan bahwa sistem menjadi benar-benar sangat mengancam hakikat kebangkitan adalah dengan “Pendidikan”. Pendidikan dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Dalam hal ini, semestinya yang memiliki kesamaan makna dengan “harus diselaraskan” adalah metode pendidikan. Entah karena terkungkung oleh sistem, atau memang hal ini telah mendarah daging, pendidikan menjadi disalah artikan sebagai proses memberi pengetahuan teoritis, definisi teori, pendapat dari para ahli sebanyak mungkin kepada generasi muda yang menjadi peserta didik. Hal ini jelas menjadi racun time release yang sedikit demi sedikit dapat membunuh karakter generasi muda Indonesia.

Selama mengenyam bangku sekolah SD, SMP, SMA bahkan bangku perkuliahan, hal yang selalu di unggulkan dalam metode pendidikan adalah dikte, tulis, hafal. Hal yang di tulis dan di hafal adalah ilmu yang di ajarkan lima, sepuluh, limabelas, bahkan lebih lama lagi dari itu, namun masih di ajarkan hingga saat ini. Dan hukuman atau punishment menjadi pendamping metode yang mendarah daging ini. Hingga akhirnya peserta didik mampu menghafal karena keterpaksaan dan ketakutan terhadap hukuman, tanpa tau apa manfaat dari yang ia pelajari. Walhasil, setelah nilai di dapat, dapat dipastikan, mayoritas peserta didik akan melupakan hal yang telah ia pelajari begitu saja. Hal itu saja, telah mampu mengindikasikan rendahnya penanaman visi jangka panjang sejak dini terhadap generasi muda.

Ironi dunia pendidikan Indonesia akan semakin tampak jelas, ketika musim Ujian Nasional tiba. Di beberapa sekolah yang bahkan mengagungkan kata kejujuran hingga menggembar-gemborkan idealisme nya dengan memberikan sanksi berat pada pelaku kecurangan dalam ujian saja, akhirnya harus rela menggadaikan idelaismenya hanya demi reputasi dan nama baik sekolah yang mampu menghasilkan generasi-generasi dengan tingkat kelulusan 100%. Lantas? Dalam hal ini, lagi-agi salah satu cermin keterkungkungan mindset oleh sistem yang mencederai kata bangkit.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar