Membangun Jurnalisme Perdamaian (Indra Nugraha)

Hasil survey yang dilansir oleh Few Forum on Religion and Fublic Life memberikan sebuah fakta yang sangat mengejutkan. Hasil survey itu menempatkan Indonesia di posisi tertinggi ke-5 dengan Indeks Kebencian Nasional (Social Hostility Index-SHI) setelah Irak, India, Pakistan, dan Afghanistan. Hasil survey lainnya, dilansir oleh Setara Institure pada bulan November 2001. Bahwa; Sikap dan Pandangan Keagamaan Masyarakat Indonesia memperlihatkan kecenderungan Intoleran.
Fakta tersebut bisa sedikit menggambarkan kondisi  bahwa Indonesia dengan masyarakat yang multikultur (245 aliran kepercayaan, 1.128 etnis suku bangsa ) rentan terjadi konflik horizontal. Konflik-konflik yang terjadi karena perbedaan agama, suku dan ras sangat sering sekali terjadi di Indonesia.  Penyerbuan jemaah Ahmadiyah misalnya. Konflik tersebut sampai detik ini belum terselesaikan, bahkan semakin menguat. Contoh  lainnya Bentrok antar etnis , Konflik berkepanjangan antara suku, Konflik berbau agama seperti yang terjadi di Maluku sejak 1999, hingga  Pelarangan mendirikan tempat beribadah di sejumlah daerah yang berakhir ricuh.
Sebuah pertanyaan bedasarkan fakta-fakta tersebut menggelitik saya; benarkah Konflik tersebut terjadi karena peran besar media?
Untuk menjawab pertanyaan itu, tentu harus melakukan serangkaian analisis untuk menguatkan fakta-fakta yang ada. Fakta menarik terjadi di tahun 2001. Saat itu (bahkan hingga sekarang) terjadi gerakan Islamiphobia setelah media seluruh dunia gencar melansir berita negatif mengenai Islam setelah serangan WTC  11/9.
Propaganda yang dilancarkan media kelompok Islam garis keras (baca:Sabili, Hidayatullah,dsb) menyebarkan sikap intoleran terhadap pemeluk agama lain, bahkan sikap antipati berlebihan. Hal ini bisa saja berakhir dengan konflik. Selain itu penyerangan gereja di Temanggung juga terjadi dikarenakan adanya pmberitaan yang menjadi penyulut kebencian terhadap umat Kristen dan Katolik terkait pengadilan kasus penistaan agama oleh Antonius Richmond Bawengan.
Fakta-fakta yang disebutkan di atas, semakin menguatkan pemahaman, bahwa peran pers dalam konflik-konflik yang terjadi, sangat besar. Penyebab dari semua itu tentu saja karena Jurnalis yang beragama tetapi tak memiliki perspektif pluralisme menerbitkan media-media yang berisikan wacana keagamaan yang “mewartakan kebencian”. Media semacam ini ternyata pernah laku keras dan menduduki peringkat keterbacaan tinggi.
Selain itu, factor tambahan lainnya adalah Kurangnya sikap profesionalisme para jurnalis dalam memberitakan isu konflik sehingga menyulut konflik lanjutan. Idealisme yang bertubrukan dengan kepentingan pemilik modal juga seringkali menjadi penyebab utama jurnalis yang memaksanya untuk menerbitkan berita-berita yang “menyulut kebencian”.
Untuk menghindari konflik-konflik yang terjadi dimasyarakat, sebuah perspektif baru harus dibangun.  sebuah solusiuntuk meredam semua itu bernama;  Jurnalisme Perdamaian
Jurnalisme perdamaian adalah melaporkan suatu kejadian dengan bingkai (frame) yang lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.  (Annabel McGoldrick dan Jake Lynch; 2000), namun pemaparan fakta-fakta saja tak mencukupi. Fakta-fakta itu membutuhkan cara pandang yang jernih (eyes bird view) sebelum disampaikan ke publik. Cara pandang yang jernih itu dihasilkan dari terkumpulnya data-data yang akurat dan memadai menyangkut akar konflik
media di Indonesia harus mulai menerapkan jurnalisme perdamaian, sebagai bagian mendorong dari upaya meredam konflik di masyarakat. (Azyumardi Azra). peran pers sangat penting untuk ikut melakukan upaya deradikalisasi dan mengurangi perkembangan ideologi terorisme atau kekerasan-kekerasan lainnya yang “mengatasanamakan agama”. Pers diharapkan dapat membangun kesadaran dan kemampuan masyarakat di segala lapisan untuk menyadari bahaya terorisme sehingga terorisme dan gerakan radikal lainnya  tidak berkembang. Apalagi, kelompok radikal atau teroris juga dapat memanfaatkan media untuk melakukan propaganda.
Keberpihakan wartawan pada kode etik dan jurnalisme damai penting agar wartawan atau kalangan pers dapat memberikan kontribusi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Tanpa mengedepankan prinsip dasar itu, termasuk nilai kemanusiaan, pers pun berpotensi menjadi alat berbagai kepentingan yang ada, termasuk kepentingan teroris. Jurnalisme damai mengedepankan prinsip menghindari kekerasan, konflik, dan memegang prinsip nilai kemanusiaan.
Media harus mengambil peran sebagai “katalisator” perdamaian di tengah kondisi Euforia demokrasi dan reformasi, serta kebebasan. Semakin menguatnya identitas kelompok, Masyarakat makin terfragmentasi dalam kelompok-kelompok, Masyarakat makin intoleran terhadap kelompok yang berbeda hingga dampak konflik antar kelompok terhadap kemanusiaan. Dengan kondisi seperti itu, media mempunyai misi atau kewajiban moral “mendamaikan” konflik antarkelompok .
Prinsip dalam jurnalisme perdamaian selalu mengambil peran memengaruhi pihak yang berkonflik untuk mengedepankan upaya dialog/diplomasi untuk menemukan jalan keluar/damai.selain itu juga penting untuk Melakukan pendekatan menang-menang (win-win solution) dibandingkan memberitakan soal menang-kalah dari sebuah konflik. Mementingkan empati kepada korban-korban konflik dibandingkan liputan perkembangan jalannya konflik. Melaporkan suatu kejadian dengan sudut pandang lebih luas, lebih berimbang, dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik yang terjadi. Pemberitaan tidak hanya bersifat dua arah, tetapi semua arah untuk menjaga akurasi sekaligus memahami akar konflik
Media berbasis perdamaian akan  memberi ruang redaksional maupun editorial yang luas bagi fakta dan pendapat yang mempromosikan perdamaian. Tidak memberi panggung yang terlalu luas bagi berita, narasumber maupun pendapat yang mempromosikan kekerasan, radikalisme, meupun fundamentalisme. Tidak memberi label buruk terhadap kelompok tertentu melalui diksi atau pilihan kata. Misalnya, dalam berita, kita tidak menulis “Ahmadiyah sesat”, tapi “Ahmadiyah berbeda”.
Membangun jurnalisme perdamaian bukan berarti tidak mengalami banyak tantangan. Tantangan jusrtu terjadi di meja redaksinya sendiri. Hal-hal seperti Kepemilikan, Ideologi, Ekonomi Media/Pasar Media sangat berpengaruh besar terhadap bisa atau tidaknya seorang jurnalis menerapkan prinsip jurnalisme perdamaian. Selain itu tingkat Pemahaman Jurnalis Terhadap Multikulturisme juga menjadi factor yang sangat menentukan. Namun, semua itu bisa diatasi jika jurnalis berpegang teguh pada idealismenya dalam melakukan berbagai kegiatan jurnalistik.
Tugas seorang jurnalis adalah memberikan edukasi kepada masyarakat luas mengenai pentingnya menjaga keharmonisan dalam perbedaan yang ada. Tugas itu, dapat ia lakukan dengan cara memberitakan isu-isu perdamaian dalam karya-karya jurnalistiknya.
Sebagai penutup, perkataan seorang wartawan Kompas, Maria Hartiningsih berikut, bisa menjadi inspirasi kita dalam membangun jurnalisme perdamaian. “Setiap jurnalis mempunyai ideologi, demikian juga saya. Ideologi saya adalah memberi sumbangan pada perdamaian dan keadilan Yang mendorong saya untuk berbuat sesuatu dalam tugas jurnalistik saya, yaitu ketika saya melihat banyak orang tidak bersalah yang jadi korban. Terutama kaum perempuan dan anak-anak itu telah memberi semangat saya untuk memberi sumbangan pada proses rekonsiliasi di negeri ini.Berbahagialah jurnalis yang membawa damai.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar