Pers Bebas Dan Masyarakat Bebas (Faisal Fadilla NAH)

Kebebasan pers selalu dihubungkan dengan kebebasan mengemukakan pendapat, suatu bagian hak manusia yang paling asasi. Persoalan selalu timbul tentang “kebebasan” yang bagaimana dan sejauh mana? Penafsiran  yang ekstrim oleh William O. Douglas, ia cenderung memandang bahwa  kemerdekaan pers adalah absolut atau tanpa batas.

Di pihak lain banyak pandangan mengemukakan, bahwa kemerdekaan pers dibatasi oleh fungsi sosial. Dalam. pengertian yang terakhir ini kebebasan pers, misalnya, tentu tidak akan melindungi hak mass media yang  mengeksploitir sex, menggunakan bahasa yang tidak senonoh atau memuat berita berita sensasi.
Kebebasan pers acapkali juga dihubungkan dengan hak masyarakat untuk mengetahui. Akan tetapi, menurut pandangan yang moderat, tanggung jawab pers bebas selalu menuntut pertimbangan hak masyarakat untuk mengetahui apa? sejauh mana? Apakah masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui nama seorang korban pemerkosaan, nama seorang terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan atau apakah umum mempunyai hak untuk mengetahui kehidupan pribadi tetangganya?
Persoalan lainnya yang sampai sekarang tetap hangat dan tak kunjung selesai adalah hubungan antara pers dan pemerintah.

 Pers Bukan Alat Penguasa
Dalam tonggak perjalanan sejarah pers nasional (di Indonesia) tercatat,sejak Era Reformasi (1998),media massa memiliki kebebasan yang luas,terutama dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap jalannya pemerintahan (eksekutif).Sejalan dengan itu,penerbitan pers tidak perlu lagi memiliki izin (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-SIUPP),dan tidak lagi dikenal adanya sensor dan pembredelan .Hal ini sesuai dengan ketentuan dan jiwa dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional memiliki kebebasan meskipun seringkali terasa bahwa suratkabar ,tabloid dan majalah yang menyalahgunakan kebebasan itu (Anwar Arifin,2003:22).
Bagaimana sesungguhnya kedudukan kebebasan pers dalam hubungannya dengan pemerintah. Menurut Dominick, sistim media disuatu negara berkaitan dengan sistim politik dinegara tersebut. Sistim politik menentukan kepastian hubungan yang nyata antara media dan pemerintah (dalam Elvinaro Ardianto,2004:154).
Sejarah perjalanan media massa di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut peran media massa.Pada masa Demokrasi Liberal media massa bebas melaksanakan peran dan fungsinya namun pada masa lainnya , Demokrasi Pancasila , media massa dibatasi perannya, bahkan seolah-olah ditentukan oleh penguasa.Bahkan Edward S.Herman telah meyakini bahwa media massa telah digunakan  sebagai sarana propaganda pemerintah.Dalam kurun waktu tiga dasawarsa,telah bekerja seperangkat “filter” yang telah mengontrol isi informasi media,dimulai dari ukuran media dan orientasi profit serta kepemilikan media dan berlanjut hingga campur tangan para pengiklan,sumber-sumber media dan kelompok penekan serta ideology “anti komunis” dan “fundamentalisme Islam” ( dalam Idi Subandy Ibrahim,2004:71).
Pengaruh yang menonjol pada masa itu,media massa telah dipengaruhi oleh sistem ideology dan sebagai sarana propaganda penguasa.Bahkan Dewan Pers yang dibentuk oleh pemerintah dan organisasi pers dan wartawan,tidak mampu berbuat banyak. Ketua Dewan Pers dijabat menteri penerangan secara ex-officio.Harapan yang terlalu tinggi terhadap Dewan Pers yang pada masanya sangat mengecewakan,juga dikeluhkan Astrid S.Susanto tahun 1989. Memasuki era reformasi pelaksanaan kebebasan pers makin terbuka dan luas. Pers dapat berperan sesuai fungsi-fungsinya.
Sebagai tantangan terhadap otoritarianis, lahirlah konsep pers libertarian. Konsep ini menganut paham bahwa rakyat adalah di atas segala-galanya. Mereka mendelegasikan kekuasaannya kepada pemerintah dan dapat menyuruh pemerintah bersangkutan mundur
pada saat mana rakyat memandangnya perlu untuk mundur.
Untuk ini pers harus bebas mengemukakan ideanya dalam semua soal dan berfungsi sebagai pengontrol pemerintah. Dalam prakteknya, pers berada ditangan swasta dan mendapat pembiayaan dari partai. Berlainan dengan penganut penganut libertarianism, pendiri Soviet menganggap bahwa pers adalah alat pemerintah. Surat  kabar dan mass media  lainnya adalah milik pemerintah dan partai Komunis yang menjalankan pemerintahan. “Buat apa diizinkan  kemerdekaan berpendapat dan kemerdekaan pers? Mengapa pemerintah yang menganggap apa yang dikerjakannya benar harus dikritik? Tak perlu oposisi oleh senjata maut”, kata Lenin.
 Menurut Lenin, idea lebih berbahaya dari senjata api. Belajar dari kelemahan kelemahan libertarianisme dan berkembangnya mass media pada abad kedua puluh ini, di mana terjadi konsolidasi mass media dan berubahnya konsep pemilikan surat kabar, maka apa yang dianggap  obyektive reporting  dalam libertarian era sekarang dapat dianggap tidak bertanggung jawab. Pemberitaan mass media haruslah dihubungkan dengan latar belakang dari sesuatu yang terjadi dan menempatkannya dalam hubungannya dengan masa depan. Fred S. Siebert, Theodore B. Peterson dan Wilbur Schramn menyebutnya sebagai tanggung jawab sosial dari pers bebas.
Konsep kebebasan pers sangat tergantung pada  sistim politik dimana pers itu berada.Dalam negara komunis atau otoriter, kebebasan pers dikembangkan untuk membentuk opini pers yang mendukung penguasa. Sedangkan dalam negara liberal atau demokrasi, kebebasan pers pada prinsipnya diarahkan untuk menuju masyarakat yang sehat, bebas berpendapat dan berdemokrasi .
Pendekatan filosofis barangkali bisa dipergunakan untuk melihat hubungan antara kebebasan dan manusia sebagai individu. John Stuart Mill ( dalam Jakob Oetama : 1985 ) berpendapat, biarlah orang seorang mengembangkan kebebasannya yang absolut. Dengan menggunakan proses kebebasan itu pikirannya yang rasional akhirnya akan menemukan kebenaran. Singkat kata, apabila dipersoalkan kebebasan pers, maka inti masalahnya adalah hubungan pers dan pemerintah. Kekuasaan dan relasi-relasinya menentukan ada tidaknya kadar kebebasan tersebut. Pengertian klasik ini tetap berlaku.
Menurut Prof. Oemar Seno Adji SH, persoalan kebebasan pers terlalu disoroti dari segi hukum saja. Sedangkan dalam prakteknya, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, persoalan kebebasan pers lebih merupakan masalah politik. Artinya masalah hukum yang diterapkan dan didalam penerapan itu politik ikut berperan dan berpengaruh terhadap hubungan kekuasaan dan kepentingan (dalam Jakob Oetama, 1989;73)
Dengan demikian pelaksanaan kebebasan pers menegaskan, institusi pers hanya bisa dilihat dari interaksi pers dengan institusi lain, karena format institusi pers (sebagai institusi politik, ekonomi dan budaya) pada dasarnya dibangun oleh faktor-faktor imperatif institusi lain, antara lain yang terberat adalah dari birokrasi kekuasaan negara. Dalam masa Orde Baru, institusi pers mendapat pengendalian dari birokrasi kekuasaan negara sebelum pada akhirnya terbebas dengan bergulirnya era Reformasi.        
Indonesia menurut perspektif Four Theories of the Press digolongkan negeri yang menganut system pers otoriter,tapi rupanya dengan mengenyampingkan falsafah Pancasila yang jadi dasar bagi system politik Indonesia (Wonohito,1977:4).Bahkan dalam pelaksanaan kebebasan pers bahwa pers  tanpa batas adalah tidak mungkin.Bebas tanpa batas adalah anarki,anarki berlawanan dengan tata tertib,padahal masyarakat yang paling sederhanapun punya tata tertib.Menurut tokoh pers Wonohito,kemerdekaan pers (kebebasan pers) bukanlah pengertian obsolut, melainkan bersifat relatif. Wajah pers senantiasa dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
Daniel Dhakidae menilai, tanggungjawab adalah garis batas kebebasan.Dan yang sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggungjawab.Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab,dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan.Keduanya tidak bisa dipisahkan (dalam Akhmadi,1997:29).                     
Bila perdebatan difokuskan pada pers bebas dan bertanggungjawab pada masa Orde Baru,tidak akan bisa disimpulkan dengan teori pers normative saja,tetapi perlu ditambah dengan pendekatan empirik. Bagaimana seorang tokoh pers Jakob Oetama,pemimpin umum suratkabar Kompas, melukiskan  bahwa suatu kebebasan pers ibarat suatu proses perubahan yang diterima dengan penuh kesabaran. “Ibarat bermain bola,terima saja dulu lapangan yang diberikan.Karena lapangan yang diberikan kecil,maka kita bermain lima lawan lima saja.Lama-lama penonton bosan,menganggap tidak seru,kemudian minta lapangan diperbesar agar yang bermain bisa lebih banyak,sebelas lawan sebelas.Kebebasan pers yang sudah dimiliki, kita pelihara,kita tingkatkan mutunya karena memang masyarakat menghendakinya”.Dengan demikian,praktik kebebasan pers pada masa itu sangat terbatas.Sistem pers yang dianut adalah otoritarian,karena pada praktiknya kebebasan pers itu untuk memberikan pembenaran kepada penguasa otoriter dalam membatasi kebebasan pers itu sendiri.
Dalam perspektif global,analisis William A Hachten (1993: 23) melihat fakta suratkabar dan media selalu berfungsi di mana-mana,dalam berbagai bentuk pemerintahan,system social, dan lapangan ekonomi. Bahkan system pers yang “paling tidak terikat” atau paling bebas pun harus sejalan dengan tingkah keanekaragaman peraturan yang dikeluarkan pihak penguasa.Dalam hubungan antara pemerintah dan media,pertanyaan mendasar adalah bukan apakah pemerintah mengontrol pers,melainkan seberapa jauh luasnya kontrol itu sendiri. Sebab semua system pers berada pada suatu kontinum dengan pengawasan penuh (otoritarianisme) pada satu sisi, sampai pada pengawasan yang relatif longgar (libertarianisme)  pada sisis yang lain.Kebebasan menyatakan pendapat yang mutlak adalah mitos. Di atas segalanya pengawasan terhadap pers demikian beragam dan rumit sehingga sulit, jika tidak mungkin,untuk membandingkan kebebasan pers di satu negara dengan kebebasan pers di negara lain.
Pada satu negara, suratkabar mungkin di bawah pembatasan politik yang kasar dan semena-mena; di negara lain, surat kabar mungkin di bawah pembatasan badan hukum dan ekonomi yang lebih halus tapi nyata. Asumsi dasar  analisis ini bahwa semua system pers mencerminkan system politik dan system ekonomi suatu negara tempat pers itu bekerja.Meskipun karena kecenderungan sudah mengarah ke internasionalisme,system cetak dan elektronik tetap masih berjalan dalam struktur kesatuan politik nasional.Dalam era komunikasi transnasional sekarang ini,wartawan dari masyarakat terbuka,sering harus bekerja dan mengumpulkan berita di dalam masyarakat otokratik dan tertutup,dan dengan demikian menambah peluang terjadinya bentrokan antara berbagai konsep yang berlainan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar